Jumat, 12 Februari 2016

Solo Travelling (5): Ambarawa, Saksi Kehebatan Para Pendahulu

Welcome to Ambarawa!
Masih ingat pengalamanku menjelajahi jalur kereta api Bedono-Ambarawa tahun lalu? Ya, acara yang diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang itu memang berkesan banget (yang belum tahu, silahkan baca: Djeladjah Djaloer Spoor Bedono-Ambarawa). Cuma sayangnya, waktu itu aku nggak ikut masuk ke Museum Kereta Api Ambarawa karena ada acara lain. Sekarang, aku akan menebus kegagalan itu. Sekaligus berkeliling tempat bersejarah lainnya.
Suatu pagi aku berangkat naik bus ke Ambarawa. Tidak perlu susah-susah buka Google Maps, karena kota ini sudah akrab denganku. Semasa kuliah, hampir tiap minggu aku lewat Ambarawa saat menuju Salatiga.  Apalagi, tujuan wistaku kali ini sangat mudah dijangkau.
Kalau kita naik bus jurusan Yogya-Semarang lewat Ambarawa, biasanya kita akan dengar kernet teriak “Palagan! Palagan!” Nah, itulah saat kita sampai lokasi Monumen Palagan Ambarawa. Tapi teriakan ini nggak berlaku kalau bus yang kita tumpangi belok ke jalan baru alias jalan tembus Ngampin-Bawen, yang letaknya tepat sesudah pom bensin Ngampin. Untuk kasus ini , kita harus rela turun di pom bensin dan naik angkot warna kuning ke Palagan.
Begitu turun di Palagan, kita akan “disambut” dengan monument tank yang berada di sebuah bundaran, tepat di seberang Monumen Palagan Ambarawa. Kalau kita belok ke kanan setelah bundaran, di situlah jalan menuju Museum Kereta Api.
Aku putuskan mengunjungi Museum Kereta Api dulu. Setelah jalan sekitar 500 meter dari tank tadi, sampailah aku ke museum itu. Ups, pintu masuknya sebelah mana? Sempat bingung, akhirnya aku nekat masuk lewat jalan masuk mobil. Aku tanya ke petugas parkir di situ, ternyata, loketnya masih jauh di dalam! Huh, betul-betul nggak kalah dengan stasiun pada umumnya. Dengan tiket seharga Rp. 10 ribu, aku pun masuk ke museum yang juga stasiun ini.
Stasiun Ambarawa
Stasiun Ambarawa ini berdiri pada tahun 1873 dengan "nama lahir" Stasiun Willem I. Stasiun ini ditutup pada tahun 1976 karena jumlah penumpang yang menurun. Biarpun begitu, stasiun ini masih melayani kereta wisata ke Tuntang setiap hari libur dengan tarif Rp. 50 ribu per orang. Sebenarnya, stasiun ini juga melayani kereta ke Bedono, tapi untuk saat ini tutup sementara karena perbaikan jalur. Khusus untuk kereta wisata ke Bedono, penumpang diwajibkan rombongan sejumlah 80 orang. Kereta yang digunakan pun harus loko uap karena jalannya penuh tanjakan. Tarif sewanya nggak main-main, Rp. 15 juta! Jadi, buat yang merasa dirinya bukan orang kaya, jangan sekali-kali deh pesan kereta ke Bedono! Aku sendiri, jangankan buat loko uap, buat kereta wisata aja perlu pikir-pikir dulu…hahaha…
Pertama-tama, aku fokuskan diri pada lokomotif. Lokomotif di sini ternyata berasal dari mana-mana, seperti Jawa Barat, Sumatra bahkan ada yang “diimpor” dari Timur Tengah. Kebanyakan buatan luar negeri seperti Swiss, Jerman dan Italia. Semuanya sudah cukup tua, karena dibuat antara tahun 1891 hingga 1928. Kondisi yang masih utuh menunjukkan bahwa museum ini tak sekedar menyimpan, tapi juga merawat semua benda ini.
Semua gerbong dan lokomotif di sini diletakkan pada rel agar terlihat lebih “hidup”. Suasana stasiun begitu terasa karena peralatan seperti pompa air dan wesel masih tersedia. Wesel di sini bukan alat pengiriman uang lho, tapi alat buat persilangan kereta api.
Untuk gerbong kereta, ada gerbong penumpang maupun gerbong barang. Karena nggak ada tulisan “dilarang naik”, aku mencoba naik ke sebuah gerbong. Ruang penumpang cukup terawat. Zaman dulu, tempat duduknya adalah bangku kayu panjang dengan penerangan secukupnya berupa lampu gantung dan yang jelas tanpa AC. Bisa dibayangkan kalau kereta ini jalan malam hari, mungkin kita bakalan susah tidur… hehehe…

Gerbong yang dulu di Stasiun Kebonpolo
Nah, ini dia! Aku temukan gerbong tua yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo, Magelang. Gerbong berwarna hijau putih itu sudah direnovasi sedemikian rupa hingga tampak seperti baru. Dinding gerbong sudah dicat ulang, pintunya juga sudah diganti. Aku pun melongok ke dalamnya, bagian dalamnya kosong tidak seperti gerbong yang kumasuki tadi. Arsitekturnya masih mempertahankan yang lama, dinding dan eternitnya terlihat baik, tapi sudah tidak ada kursi di situ. Pikiranku pun melayang ke masa silam, sewaktu ibu dan tanteku masih kecil, mereka suka naik gerbong ini dari Magelang ke Jogja seharga Rp. 65. Biarpun sesampai di Jogja mereka balik ke Magelang lagi, tetap senang. Ah, seandainya di Magelang ada kereta api, kalau malam-malam aku bosan di rumah, nggak usah repot. Tinggal ngacir ke stasiun dan jes…jes..jes… sampailah ke Jogja atau Solo.

Bangunan stasiun bergaya kolonial
Memasuki bangunan stasiun yang masih tegak berdiri, aura masa lalu benar-benar terasa. Aku temukan loket kayu pindahan dari Stasiun Demak. Ada juga mesin cetak dan mesin press tiket di mana sebelum ada printer, tiket dicetak secara manual. Berputar ke belakang, terpampang genta atau lonceng yang biasa dibunyikan kalau kereta lewat, loket besar, wesel, roda kereta dan timbangan peninggalan masa lalu. Belum cukup, di ruangan dalam stasiun ada ruang pamer dengan arsitektur kolonial yang kental. Lemari, meja dan kursi zaman dulu tertata rapi seperti halnya ruang makan zaman Belanda. Semuanya nyaris tanpa cacat, karena pemeliharaan yang intensif.
Halte Kronelan
Aku yang berniat keluar dari stasiun itu tiba-tiba melihat sebuah papan penunjuk arah dengan keterangan di antaranya “Stasiun Cicayur” dan “Stasiun Cikoya”. Hm… apakah ada stasiun lain di belakang Stasiun Ambarawa? Tapi kok, namanya berbau Jawa Barat?
Jelas hal ini nggak boleh dilewatkan! Aku langsung ikuti penunjuk arah di mana kedua stasiun itu berada. Dan benar saja, di belakang Stasiun Ambarawa berdiri beberapa gubuk kayu, yang kalau dilihat lebih dekat, mirip halte kereta api. Bukan cuma Cicayur dan Cikoya, ada juga Tekaran dan Kronelan. Wow, apakah Stasiun Ambarawa punya banyak halte?
Demi menjawab rasa penasaran, aku balik lagi ke peron dan bertanya ke bapak petugas stasiun. Ternyata, halte-halte itu sebenarnya bukan merupakan bagian dari Stasiun Ambarawa! Lho? Lalu? Halte Cicayur dan Cikoya adalah halte dari Jawa Barat, sedangkan Tekaran dan Kronelan dari Wonogiri. Konon, bangunan halte yang sudah tidak terpakai itu diangkut dengan truk dan dimuseumkan di Ambarawa ini.
Wow, rasanya sulit dibayangkan, mengangkut bangunan kayu dari Jawa Barat ke Ambarawa. Tapi ini sungguh menarik, daripada halte-halte itu merana di tempat aslinya, lebih baik dilestarikan bersama yang lain.


Salah satu lokomotif
Aku beranjak keluar, melewati dinding memorial berisi sejarah kereta api di Indonesia, mulai dari ide pembangunan kereta api di Indonesia tahun 1840 hingga revitalisasi Museum Kereta Api Ambarawa di tahun 2015. Sejumlah dinding yang masih kosong telah disiapkan untuk sejarah selanjutnya. Betapa kereta api telah jadi bagian dari sejarah Indonesia. Sejak dulu, kereta api telah menyimpan banyak cerita.

Selepas Museum Kereta, kini saatnya Monumen Palagan! Di seberang monumen tank tadi, berdirilah sebuah monumen perjuangan yang dibangun untuk memperingati peristiwa Palagan Ambarawa pada tanggal  15 Desember 1945 dimana TKR (Tentara Keamanan Rakyat) melawan pasukan Sekutu.
Setelah membeli tiket seharga Rp. 4000, aku masuk. Pertama-tama, ke Museum Isdiman di sebelah kiri monumen . Begitu masuk, aku langsung “disambut” oleh patung Letkol Isdiman, pejuang yang gugur dalam Palagan Ambarawa. Di dinding, ada foto-foto pejuang yang ikut dalam petempuran Palagan Ambarawa, salah satunya Letkol Sarwo Edhie Wibowo.

Museum Isdiman
Beberapa lemari kaca menyimpan benda-benda militer dalam pertempuran itu, yang sebagian besar milik Letkol Isdiman. Ada helm, pakaian, sepatu, senapan dan peluru. Beberapa meriam kecil juga terpajang, menunjukkan heroiknya pertempuran waktu itu.
Museum ini tidak terlalu besar, hanya terdiri dari satu ruangan saja. Yang aku sayangkan, siang itu ruangan dalam keadaan gelap karena lampu tidak dinyalakan. Sendirian di ruang seperti ini sambil membayangkan perang yang terjadi, betul-betul bikin merinding. Nggak tahu deh, gimana perasaanku kalau malam-malam di sini sendirian. Apalagi seandainya ada diaroma pertempurannya kayak di Museum Lubang Buaya….wah…

Monumen Palagan Ambarawa
Keluar dari museum, sebuah monumen terlihat menjulang. Itulah Monumen Palagan Ambarawa dengan patung tiga orang pejuang yang siap menyerang musuh, diapit dua orang sebagai komando. Sulit dilukiskan, betapa gagah berani pahlawan kita untuk mempertahankan kemerdekaan. Di sekitar monumen, terpajang dua buah meriam buatan Inggris dan Swedia. Di bagian belakang ada truk dan tank yang juga dipakai dalam pertempuran. Sejarah juga terlukis lewat replika pesawat Mustang P 51 buatan Amerika Serikat. Menurut cerita, TKR berhasil menembak pesawat Sekutu tersebut dalam pertempuran Palagan Ambarawa. Pesawat aslinya tenggelam dan terkubur di Rawa Pening. Sungguh mengagumkan, mengingat pesawat jenis tersebut paling ditakuti pada zamannya.

Gerbong tua yang sering buat selfie
Rasa merinding semakin menjadi ketika aku lihat sebuah gerbong tua. Di dinding gerbong yang sering digunakan pengunjung buat selfie ini tertulis kata-kata heroik seperti “Merdeka Ataoe Mati”, “Hantjoerkan Moesoeh Kita”, “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Kata temanku, tempat ini mengandung mistis. Aku nggak percaya, tapi sekarang aku rasakan sendiri. Merinding bukan karena hantu, tapi karena membayangkan semangat juang para pahlawan.
Suasana dalam gerbong benar-benar terasa “jadul”. Kalau gerbong di Museum Kereta tadi direnovasi ulang, gerbong ini masih menyimpan bentuk aslinya. Tak ada perabot kecuali beberapa bangku kayu yang sebagian tak utuh lagi. Sayang seribu sayang, di situ banyak sampah berserakan! Oh, inilah hal yang nggak kusukai. Kenapa ya, manusia itu tidak suka kotor tapi suka mengotori?
Aku lanjutkan berjalan ke arah Pasar Ambarawa. Sempat melewati Toko Roti Pauline, bakery yang melegenda di Ambarawa. Aku nggak tahu, kapan toko roti ini berdiri. Yang jelas, menurut sumber yang kubaca, toko ini sudah diwariskan turun temurun. Semua orang sudah tahu tentang Pauline, apalagi letaknya strategis, di seberang pertigaan ke arah Bandungan. Kabarnya di sini ada roti kelapa yang enak. Tapi karena bukan penggemar roti, aku nggak mampir.
Semakin dekat ke Pasar Projo, Ambarawa, jalan semakin ramai. Dulunya, jalan ini langganan macet. Jelas aja, jalannya sempit, dua arah, buat lewat truk dan bus, dekat pasar lagi! Untungnya, sekarang udah ada jalan baru dari Ngampin ke Bawen. Cuma resikonya ya itu, penumpang bus kadang harus oper angkot buat ke pasar ini.  
Di depan Pasar Projo, aku naik bus jurusan Salatiga buat mengunjungi teman di sana. Dengan ini, berakhirlah kunjunganku kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar