Selasa, 30 Januari 2018

My First Bacpacker (Part 2) : Indahnya "Kota Seribu Taman", Serunya Museum Brawijaya

Setelah keluar dari stasiun, aku sedikit bingung mau ngapain. Kalau dipikir-pikir, aku salah strategi. Masalahnya aku baru bisa check in hotel pukul 13.00, sedangkan waktu itu baru pukul 08.00. Itu artinya selama 5 jam ke depan aku harus luntang-lantung keliling kota! Padahal aku menggendong tas ransel yang lumayan berat. Huh…. Inilah  tandanya backpacker amatiran.

Nggak ada cara lain selain jalan-jalan dulu. Aku melangkah ke Taman Trunojoyo di seberang stasiun. Sebuah taman kecil dengan mainan anak sederhana, yang mengingatkanku pada Taman Badakan di Magelang.  Pagi itu, taman sedang ramai oleh anak-anak TK yang sedang bermain sambil belajar. Sedangkan di depannya ada beberapa penjual makanan seperti bubur ayam, bakso, dan soto.

Karena belum sarapan, aku pun beli Soto Madura. Begitu semangkuk soto sampai di tanganku, weladalah, porsinya gede banget. Sayangnya lagi, isi dagingnya adalah jeroan yang sama sekali nggak kusukai. Berhubung lapar, tetap kumakan sampai habis, cuma jeroannya terpaksa kusisihkan.

Dengan sedikit tertatih karena tas yang kubawa berat, aku menuju ke arah barat. Seketika aku dibuat terpesona dengan taman di tengah jalan. Aneka bunga dan tanaman hias lainnya jadi saksi bisu kendaraan yang lalu lalang. Ya, di Malang ini cukup banyak taman kota. Bahkan di pinggir Jalan Kertanegara yang kulewati disediakan bangku agar pengguna jalan bisa beristirahat sambil menikmati keindahan taman.

Ternyata di ujung taman adalah Alun Alun Tugu, letaknya tepat di depan Balai Kota Malang. Dinamakan Alun Alun Tugu karena di tengahnya terdapat sebuah tugu besar. Alun-alun ini ditata dengan sangat luar biasa. Di tengahnya terdapat air mancur, dikelilingi aneka bunga. Suasana terasa sejuk dan damai biarpun jalan cukup ramai. Aku jadi teringat slogan kotaku , Magelang Kota Sejuta Bunga. Tapi faktanya Malang punya lebih dari itu! By the way, Malang punya 2 alun-alun, yakni Alun-alun Tugu ini dan Alun-alun Merdeka.

Alun-alun Tugu


Nah, sekarang mau ke mana lagi? Pilihanku jatuh ke Museum Brawijaya. Letaknya 2 km dari Alun Alun Tugu. Sebenarnya aku sudah print daftar rute angkot di Malang, cuma berhubung malas buka tas, aku putuskan pesan GoJek.

Singkat cerita, aku diantar ke Museum Brawijaya, sebuah museum perjuangan yang dikelola oleh TNI AD setempat. Tapi sebelum ke museum,aku lebih dulu tertarik dengan pemandangan di seberangnya :  Ijen Boulevard.

Bayangkan, di tengah-tengah jalan 2 arah terbentang sebuah jalur hijau. Puluhan pohon palem menghiasi sepanjang tepi jalan. Sedangkan untuk pengunjung disediakan bangku taman dan beberapa gazebo beratap dedaunan. Benar-benar mirip jalur hijau di Eropa. Lebih-lebih semua bisa dinikmati secara gratis.  Dijamin betah deh berlama-lama di sini.

Ijen Boulevard yang bikin betah

Seperti biasa selfie dulu

Aku lebih dulu merebahkan diri di bangku taman. Menikmati semua keindahan yang ada sambil beristirahat. Bahuku mulai pegal gara-gara menggendong tas ransel. Siang itu Ijen Boulevard cukup sepi. Cuma ada dua muda mudi yang sedang jalan-jalan, serta beberapa petugas yang sedang memperbaiki jaringan listrik.

20 menit berlalu dengan cepat. Biarpun nyaman banget duduk di sini, aku tetap harus lanjut perjalanan. Langsung saja aku menyeberang ke Museum Brawijaya.

Masuk ke halaman, tiba-tiba tentara yang bertugas jaga di depan menegurku :

Tentara : Mas, dari mana?
Aku : Dari Magelang pak
Tentara : Itu tasnya isinya apa?
Aku : Baju
Tentara : Mau berkunjung?
Aku : Iya pak
Tentara : Ya, silahkan

Duh, gregetan rasanya. Bukan berarti pak tentara itu nggak welcome sama wisatawan lho. Mungkin penampilanku agak “mencurigakan”. Maklum deh, datang sendiri, bawa tas gede banget.


Museum Brawijaya, dengan patung Jendral Sudirman di depannya
 Biarpun sedikit sungkan, aku tetap menaiki tangga, masuk ke museum. Untungnya, seorang tentara dan seorang KOWAD yang bertindak sebagai “resepsionis”, menyambut dengan lebih ramah. Museum ini memang dikelola oleh KODAM V Brawijaya, jadi tak heran kalau nuansa militernya cukup kental.
Setelah mengisi buku tamu dan membayar Rp. 3000, aku langsung masuk ke ruangan di samping kanan. Saat itu pengunjung museum cuma aku sendiri serta sepasang orang tua dengan anaknya.
Di ruangan yang cukup besar itu banyak benda-benda peninggalan zaman kemerdekaan, khususnya yang berasal dari Jawa Timur. Begitu masuk, terlihat beberapa meriam kecil. Lantas sebuah mobil kuno bernama De Soto yang dulu pernah digunakan oleh Kolonel Sungkono, mantan Panglima Divisi Brawijaya tahun 1948-1950

Senjata hasil rampasan

Mobil De Soto

Semakin ke dalam, terpajang papan seperti majalah dinding berisi kliping berita perjuangan di Jawa Timur. Salah satunya peristiwa PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, awal tahun 1945. PETA sebenarnya adalah organisasi pemuda bentukan Jepang yang tujuannya militerisasi pemuda Indonesia demi kekuatan melawan Sekutu. Namun, muncul kesadaran dari para pemuda tersebut untuk melawan penjajah Jepang hingga terjadilah pemberontakan besar
Ada juga peninggalan dari pertempuran melawan Belanda di Mojokerto tahun 1946. Di antaranya alat-alat kedokteran milik Mayor dr.Hadiyono, dokter KODAM yang ikut gugur dalam peristiwa itu. Ada jarum suntik, gunting, pinset, tempat obat, dan beberapa lagi.

Kliping berita perjuangan dari media zaman dulu

Alat kedokteran Mayor dr Hadiyono
 Seperangkat meja dan kursi pun terletak di tengah ruangan. Sejumlah perabot ini konon pernah digunakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta saat berunding dengan Brigjen Mallaby terkait gencatan senjata antara tentara Sekutu dengan arek Surabaya. Beberapa hari kemudian, tepatnya 10 November 1945, terjadilah Pertempuran Surabaya yang menewaskan Mallaby. Peristiwa terbunuhnya Mallaby beserta peristiwa 10 November itu terpampang dalam sebuah lukisan.


Meja kursi ini pernah dipakai Proklamator kita lho!

Lukisan terbunuhnya Mallaby dalam Pertempuran 10 November

Di museum ini kita juga bisa temukan koleksi uang kuno dari zaman perjuangan. Ada juga pesawat radio peninggalan Denhub Brawijaya yang masih menggunakan baterai aki, hingga panji-panji milik Kodam VII/Brawijaya.  Tak ketinggalan beberapa senjata api hasil rampasan dari tangan  penjajah.

Uang kuno dari zaman kemerdekaan
Radio dengan baterai aki

Panji-panj KODAM Brawijaya dari masa ke masa


Peta gerilya (taktik perang secara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah) menjadi bukti betapa hebatnya pejuang di masa lalu. Jendral Sudirman misalnya, biarpun dalam keadaan sakit, beliau tetap memimpin pasukan gerilya dari Yogyakarta hingga Kediri tahun 1948-1949.
Masih banyak lagi koleksi museum ini, di antaranya gerbong tua . Sayangnya karena tubuh sudah lelah, aku nggak bisa berlama-lama di sini. Dalam hati aku menyindir diriku sendiri, aku baru begini saja udah capek, gimana dengan pahlawan zaman dulu yang berjuang tanpa kenal lelah? Berarti aku nggak pantas jadi pahlawan? Itu sih no comment, capek ya capek aja… hehehe.
Koleksi museum ini ternyata tidak hanya di dalam ruangan saja. Di depan gedung, kita juga bisa lihat beberapa senjata ukuran besar, yaitu tank yang digunakan dalam Pertempuran 10 November, tank amfibi dari pertempuran pasukan TRIP melawan Belanda, alat penangkis serangan udara, serta meriam besar yang disebut Si Buang. Yang menarik, taman di sekitarnya ditata dengan rapi sehingga tidak terasa membosankan.
Tank amfibi, saksi bisu pertempuran TRIP melawan Sekutu

Meriam Si Buang, hasil rampasan darI Belanda
Belakangan, aku baru tahu, ternyata yang kumasuki tadi baru sebagian dari ruangan museum. Masih ada satu ruangan lain yang belum kumasuki. Ya, mau gimana lagi, udah terlanjur. Lain kali aku akan datang lagi ke sini.

Museum Brawijaya menunjukkan padaku betapa hebatnya perjuangan para pendahulu kita. Semua tertulis menjadi sejarah yang semestinya dikenang. Sayang, tak banyak masyarakat yang berminat mempelajarinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar