Kamis, 28 Januari 2016

Sisi Lain Borobudur : Jalan Tak Selalu Mulus, Tapi Tunjukkan Apa Yang Kau Bisa!

Sebagai penggemar pelajaran IPS waktu sekolah dulu, sebuah komunitas pecinta sejarah adalah tempat yang tepat buat menambah wawasanku. Dan komunitas Kota Toea Magelang adalah pilihanku, tentu saja karena aku orang Magelang. Apalagi, komunitas ini sering mengadakan jelajah, hal yang sangat-sangat jadi hobiku. Sudah beberapa kali aku ikut event jelajah, termasuk hari ini: Djeladjah Sepeda di Boroboedoer. Dengan bersepeda, kami akan melewati perkampungan di sekitar Borobudur.
Tadinya aku berpikir mau bawa sepeda sendiri, kan berangkatnya nggak perlu keluar uang. Tapi pulangnya? Rute jelajah kali ini 9 km. Ditambah perjalanan pulang-pergi Magelang-Borobudur masing-masing 15 km, total yang harus kutempuh hampir 40 km! Wah, bisa KO duluan sebelum sampai rumah. Akhirnya kuputuskan ambil jalan terenak saja : naik bus.

Rental sepeda Pondok Tingal
Tepat jam 7.40 pagi, aku sampai di rental sepeda Pondok Tingal, Borobudur. Sudah banyak peserta yang datang dan bersiap berangkat. Setelah daftar dan bayar kontribusi, aku dipersilahkan memilih sepeda. Di sini ada beberapa jenis sepeda. Sepeda kuno, sepeda besar, sedang dan ada juga sepeda kecil buat anak-anak. Awalnya, aku memilih sepeda besar, kupikir ini paling pas buat cowok. Tapi saat kunaiki joknya, alamak… tingginya minta ampun. Padahal badanku udah tinggi, tetap aja harus lompat buat naik atau turunnya. Jelas not recommended buat pengidap acrophobia sepertiku. Jadi, secepat kilat, aku balik lagi ke rental. Aku pilih sepeda ukuran sedang aja. Ngapain malu, toh nggak sedikit juga peserta cowok yang pakai sepeda ini.
Meski sedikit gugup dengan sepeda rental, tapi nyatanya sepeda ini cepat sekali akrab denganku. Nyaman sekali. Perjalanan dimulai ke arah barat menuju Candirejo. Kami mulai memasuki perkampungan penduduk. Tapi nggak lama, jalanan mulai berganti jalan setapak berbatu (kayak lagunya Jikustik aja). Ya, kami harus lewat ladang jagung dan kebun bambu. Dan selanjutnya, 80 persen kondisi jalan yang kami lewati tidaklah mulus, bahkan lebih nggak mulus dari kulitku! Diam-diam aku merasa ada untungnya juga aku nggak bawa sepeda sendiri. Maklum, ban sepeda milikku sensitif terhadap batu dan gundukan (belinya murah sih), makanya kalau dia harus lewat jalan beginian, dijamin nggak tertolong lagi.
Beberapa kali, aku dan beberapa teman lewat persimpangan. Nggak jarang pula, kami tertinggal rombongan dan harus tanya ke warga. Untungnya, selalu ada pertolongan. Keramahan warga sekitar dan solidaritas antar peserta, itu yang bikin perjalanan tidak terasa berat. 

Woi.... yang lain kemana?
Tak lama, sampailah kami ke daerah pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo. Sungai Elo adalah sungai yang berhulu di lereng Gunung Merbabu. Sungai ini mengalir ke arah barat sampai Kecamatan Borobudur, kemudian menyatu dengan Sungai Progo yang berasal dari utara. Kedua sungai ini sering jadi arena rafting alias arung jeram karena arusnya yang lumayan deras dan berbatu-batu.

Selfie di tepi sungai
Hutan bambu Desa Wanurejo
Sesudah berfoto dan istirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Sempat melewati jalan aspal, kemudian beralih lagi ke daerah ladang dan perkebunan. Sesekali kami berpapasan dengan warga yang sedang membawa hasil bumi, ataupun duduk-duduk di depan rumah. Kami menyapa dengan sopan dan mereka membalasnya dengan keramahan. Di sebuah tempat, ada peserta yang iseng mengambil rambutan dari pohon yang berbuah lebat. Tapi pemilik rumah tidak marah, malah setelah tahu tentang acara kami, beliau memberikan rambutan satu tas plastik besar. Wow... bagi-bagi dong...
Kami sempat berhenti di sebuah tempat. Pemandangan di sini luar biasa. Pegunungan Menoreh terbentang jelas dengan sawah dan ladang di sekitarnya. Di kejauhan, beberapa petani sedang menanam padi. Nggak nyangka banget, di dekat Magelang masih ada suasana begini. Banyak peserta, termasuk aku nggak melewatkan pemandangan ini. Ibarat warga metropolitan yang baru turun ke desa, kami asyik berfoto, narsis sana sini.
Sloganku: segala yang indah tidak boleh dilewatkan

Waktu tanam padi... di tengah sawah
Beramah tamah dengan warga
Dusun Nglipoh di desa Karanganyar adalah tujuan kami selanjutnya. Warga dusun ini dikenal sebagai pengrajin gerabah. Nah, yang kami kunjungi adalah sentra gerabah Ngudi Makmur milik Pak Lamno. Di depan rumah itu banyak benda-benda hasil kerajinan tanah liat, baik yang masih dijemur, dihaluskan atau yang sudah jadi. Ada kuali, pot, cobek dan panci tanah liat.
Semua benda-benda itu dibuat secara tradisional dan butuh ketelatenan tinggi. Kuali misalnya, pertama dibentuk bagian mulut dulu, baru kemudian badannya. Sesudah terbentuk sempurna, dijemur sampai kering, dihaluskan permukaannya, baru dibakar dan kemudian dibersihkan. Hasilnya, jadilah sebuah kuali yang kokoh dan halus. Menurut Pak Lamno, dalam 5 hari, tempatnya bisa menghasilkan sekitar 50 buah kuali.

Pak Lamno dengan kuali yang sedang dijemur
Selain Pak Lamno, ada juga dua orang ibu yang sedang sibuk bekerja. Ada yang sedang menghaluskan permukaan kuali. Caranya dikerok dengan sejenis pisau besar, kemudian ditepuk-tepuk atau bahasa Jawanya dikeplaki. Agar lebih jelas, seorang ibu memperagakan cara membentuk tanah liat menggunakan alat putar. Pertama-tama, alat dilumuri abu agar tidak lengket. Lalu sebongkah tanah liat diletakkan di atasnya. Diremas-remas sambil sesekali diputar, dan apa yang terjadi saudara-saudara? Kurang dari 10 menit terbentuklah sebuah pot!

Tanah liat yang masih mentah
Dalam hitungan menit, jadilah sebuah pot
Pak Lamno nggak mau kalah, menunjukkan salah satu “jurus rahasia”. Kenapa ada cobek yang berwarna hitam, padahal barang dari tanah liat lazimnya berwarna kemerahan. Ternyata sesudah dibakar, panas-panas cobek itu diletakkan di antara tumpukan daun bambu kering. Dan berubahlah warna cobek itu jadi hitam. Tapi kalau dipecahkan, terlihat dalamnya tetap warna merah.
Sekitar setengah jam di tempat ini, kami pun berpamitan pada Pak Lamno dan dua ibu tadi. Kami dapat pelajaran berharga dari mereka. Usia bukan halangan untuk terus berkarya dan mengembangkan kreativitas, yang terpenting jangan lupakan ibadah.
Sepeda terus kami kayuh. Ternyata tak cuma Pak Lamno, warga sekitarnya juga banyak yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Ada yang membuat tempat lilin, kendi atau barang lainnya.
Di desa Karangrejo, kami tertarik dengan sebuah hal unik. Ada beberapa lukisan pemandangan berbahan kain batik dipajang di teras sebuah rumah. Beberapa dari kami berhenti sebentar, melihat-lihat. Pemilik usaha itu namanya Pak Muhdi. Dengan ramah, ia menjawab pertanyaan dari kami. Lukisan-lukisan itu terbuat dari kain perca batik yang direkatkan dengan paku. Khusus untuk membuat batang pohon, beliau menggunakan daun talas yang dikeringkan. Dengan harga antara 40 ribu hingga 2,5 juta (tergantung ukuran), Pak Muhdi banyak menerima pesanan dan mengikuti pameran di Candi Borobudur. Bahkan, beliau merencanakan menjadikan rumahnya sebagai galeri. Sungguh kreatif.

Lukisan indah dari kain batik
Hei.. karena keasyikan lihat lukisan, aku sampai tertinggal rombongan. Untungnya, masih ada 2 orang bapak di depanku, aku ikuti saja mereka, sampai akhirnya ketemu sama yang lain. Ternyata, peserta lain sedang istirahat sebentar di tepi sawah. Di seberang sawah itu ada hutan kecil, dan di balik hutan itu nampak Candi Borobudur! Wow!
 
Pemandangan indah di balik Candi Borobudur
Delman wisata di sekitar Borobudur
Akhirnya, setelah blusukan sana sini, kembalilah kami ke jalan raya. Sambil bersenandung, aku mengayuh sepeda melewati keramaian sekitar Candi Borobudur. Bagaimanapun, jelajah pedesaan dengan sepeda memberi sensasi luar biasa. Dan hari ini aku sudah buktikan, Candi Borobudur tidaklah sendirian, tapi banyak hal lain yang mendukung pariwisata di sekitarnya.
Finish! Akhir perjalanan kami adalah sebuah pendopo, tak jauh dari Pondok Tingal. Setelah makan siang dengan nasi megono (sekedar info : nasi megono itu mirip nasi urap tapi dicampur nangka muda), acara pun ditutup oleh Mas Bagus Priyana, sang koordinator. Hal yang mengejutkan disampaikan oleh Mas Bagus, bahwa sewaktu survey lokasi, dia salah menghitung, ternyata rute yang sudah kami tempuh mencapai 16 km! Dan sekali lagi, aku bersyukur bahwa aku nggak bawa sepeda sendiri dari rumah.

Inilah nasi megono
Kami pun siap kembali ke kehidupan masing-masing (bahasanya…). Tidak lupa kembalikan sepeda dulu ke Pondok Tingal.
Candi Pawon letaknya nggak jauh dari Pondok Tingal,. Aku penasaran banget sama candi ini karena letaknya tepat di tengah-tengah antara Candi Borobudur dan Mendut. Ibarat dapat “bonus jelajah”, aku putuskan mampir sebentar ke Candi Pawon. Aku menyeberang jalan sendirian dan kunyalakan GPS di HPku biar nggak nyasar. Beneran dekat, cukup jalan sekitar 300 meter.
Di tengah pemukiman warga, aku jumpai sebuah candi menjulang dihiasi beberapa stupa kecil di atasnya. Ini dia! Aku masuk dan membeli tiket. Siang itu, Candi Pawon betul-betul sepi, pengunjungnya hanya aku seorang!

Candi Pawon
Candi ini kecil, halamannya juga tidak terlalu besar. Mungkin karena itulah, kurang diminati oleh wisatawan. Padahal, di sekitarnya sudah banyak warung penjual makanan dan oleh-oleh. Tak jauh dari situ, ada juga sentra pembuatan gula jawa.
Aku mencoba naik ke pelataran, melihat ke dalam. Tercium aroma dupa, yang menandakan bahwa candi ini masih dipakai sebagai tempat sembahyang umat Buddha. Relief candi yang dibangun pada abad ke-8 ini menggambarkan sosok dewa atau raja. Sementara di halaman candi, ada beberapa batuan yang belum tersusun. Menurut teks yang terdapat di depan candi, pada badan candi tersebut terdapat arca Bodhisatya sebagai penghormatan kepada raja Indra. Ada kemungkinan, bahwa Candi Pawon adalah bagian dari Candi Borobudur karena memiliki relief yang mirip.

Puas melihat-lihat, aku segera pulang. Bapak penjaga loket sempat memberiku sebuah brosur wisata Kabupaten Magelang. Ah, ternyata banyak sekali obyek wisata di sekitar tempat tinggalku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar