Rabu, 02 Maret 2016

Solo Travelling (6) : Muter-muter Temanggung

Berwisata itu nggak harus ke gunung, pantai atau museum. Jalan-jalan keliling kota juga wisata, lihat bangunan bersejarah juga wisata, cari kue di pasar juga wisata.
Itulah yang jadi pemikiranku. Negeri ini luas, jadi nikmati apa yang ada. Begitulah, untuk mengisi waktu luang, di tengah perjuanganku mencari kerja yang nggak dapet-dapet, jalan-jalan adalah hobiku. Aku nekat jalan-jalan ke kota Temanggung, biarpun aku tahu, sulit menemukan “something special” di sana, kecuali aku melangkah lebih jauh ke Kledung atau Pikatan. Tapi ya, berhubung waktu dan budget terbatas, aku ambil apa yang ada aja.
Temanggung, yang punya slogan Bersenyum (Bersih, Sehat dan Nyaman untuk Umum) ini adalah kota kecil, biarpun begitu keramaian pusat kota tetap ada. Maklum saja, dengan kendaraan yang makin hari makin padat, bukan cuma di sini, di kota mana pun musti hati-hati buat melangkah. Salah satu yang perlu diwaspadai penyeberang jalan adalah lampu merah yang bertuliskan “ke kiri jalan terus”.
Aku turun dari bus di Jalan Diponegoro, tepatnya depan kantor Kodim. Kunyalakan GPS untuk menuju ke alun-alun Temanggung. Sekitar 400 meter, setelah menyeberang sana menyeberang sini, sampailah aku di sana.

Gerbang Alun-alun Temanggung

Alun-alun ini berupa lapangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya dua pertiga dari alun-alun kota Magelang. Seperti lazimnya alun-alun, di sini juga dikelilingi pohon besar, terutama beringin. Di seberangnya ada Masjid Agung Darussalam. Menurut tradisi kuno, memang pohon beringin adalah simbol “keteduhan jasmani”, dan masjid berkaitan dengan religi atau “keteduhan rohani”. Mungkin inilah yang disebut “local wisdom”, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama yang berjalan searah.
Banyak masyarakat yang sedang jalan-jalan, baik pelajar yang nongkrong sepulang sekolah, pegawai kantoran yang sedang makan siang atau ibu-ibu yang mengajak anaknya bermain. Aku sendiri iseng menjepretkan kamera ke beberapa sudut. Nggak peduli deh, biarpun ada yang menatap heran. Mungkin pikir mereka, ini anak nggak pernah lihat alun-alun kali ya?
Kedai kuliner pun membentang di sepanjang alun-alun. Kebanyakan menunya seragam, seperti batagor, es buah dan bakso. Wah, kalo yang begini sih, di Magelang juga ada bro! Aku jadi nggak tertarik. Ngapain juga jauh-jauh ke sini kalau semua itu juga ada di kotaku?
Nah, habis ini kemana? Aku teringat beberapa hari lalu komunitasku, Kota Toea Magelang, ada acara Djeladjah Petjinan di Temanggung. Yang aku ingat, salah satunya rumah tua di dekat Kodim. Jadi aku putuskan, balik lagi ke “titik nol” alias tempatku turun tadi.
Memang betul, di Jalan Diponegoro ada beberapa rumah peninggalan masa lalu. Aku lihat… wow.. arsitekturnya masih asli. Pintu dan tiangnya pun terlihat sangat bersih, pertanda kalau rumah-rumah ini masih ditinggali. Karena masih ditinggali dan ada orangnya, aku nggak berani ah masuk sembarangan… 
Karena kesulitan menyeberang, aku maju sedikit ke Jalan Tentara Pelajar. Di sini kutemukan sebuah bangunan tua lain, yang adalah gedung Bioskop City. Di depannya ada plang bekas poster yang sudah lapuk. Aku nggak bisa masuk karena ditutupi pagar seng. Hm… memang, bioskop daerah sudah tergerus zaman gara-gara munculnya DVD di awal 2000-an. Menurut info di Google, gedung ini pernah digunakan oleh Kodam, yang setahun lalu dikembalikan ke pemiliknya, seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Namun sejak Juli 2015 lalu dibiarkan mangkrak.

Gedung Bioskop City

Sekarang aku jalan ke Pasar Temanggung. Pasar di sini lumayan besar karena terdiri dari beberapa komplek. Salah satu yang menarik perhatianku adalah Pasar Temanggung Permai, yang berupa beberapa blok kios yang tertata rapi. Ya, pasar yang diresmikan oleh Kementerian Perdagangan RI ini memang dicanangkan sebagai pasar percontohan. Ada pedagang pakaian, alat tulis, elektronik dan warung makan. Sayangnya, ternyata nggak seindah namanya, pasar ini sangat sepi, banyak kios yang tutup. Terbukti, cuma segelintir orang yang masuk untuk belanja. Mungkin karena Pasar Kliwon di seberang lebih besar dan lengkap jadi orang lebih banyak berbelanja di sana(ini dugaanku lho).

Pasar Temanggung Permai
Pasar Kliwon bagian barat

Sebelum pulang, aku berpikir untuk beli kue. Salah satu jajanan khas Temanggung adalah ndas borok, artinya kepala yang borokan. Biarpun namanya serem, kue dari ketan berisi gula merah ini sungguh menggugah selera. Sayang sekali, aku nggak bisa temukan, habisnya kata orang makanan ini memang langka…..yaaaah…terpaksa, aku cari yang lain.
Selagi aku berkeliling komplek pasar utara, aku temukan penjual kue tradisional yang biasa disebut “tenongan”. Nah, di sini ada kue yang juga kesukaanku : kelepon. Satu takir kecil cukup Rp. 600, aku beli tiga! Tiba-tiba aku lihat kue yang lumayan asing. Mirip wajik tapi tidak terlalu basah, warnanya pink berlapis putih, dengan takir dari kertas roti. Kata ibu penjualnya, namanya sengkulun. Dijualnya bukan eceran, tapi Rp. 5000 dapat satu plastik isi 10.  Ya, mumpung ada aku beli deh, nanti bisa berbagi sama ortu.

Sengkulun

Saatnya pulang! Untuk pulang, aku harus menyeberang ke pasar sebelah selatan lalu naik angkot jurusan Kranggan yang warnanya hijau tua, soalnya bus yang dari arah Wonosobo nggak lewat kota. Nanti kita bisa turun di terminal Temanggung atau jembatan Sungai Progo. Harap maklum, angkot baru akan jalan kalau penumpangnya sudah cukup penuh. Dan saat naik angkot ini aku temui hal tak biasa lainnya. Ada seorang perempuan yang jadi calo penumpang. Nggak masalah, yang penting dia kerja halal demi mencukupi kebutuhannya. Kenyataannya, toh dia terlihat enjoy. Begitulah, hidup memang tak selalu sesuai harapan, tapi semua akan bermakna asal kita menikmati. Ya, seperti perjalananku hari ini….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar