Selasa, 22 Maret 2016

Solo Travelling (7) : Suatu Hari di Kota Tua Semarang

Jakarta punya kota tua, tapi buat orang Jawa Tengah nggak perlu jauh-jauh ke sana. Karena Semarang juga punya. Komplek bangunan tua dengan arsitektur kolonial di utara Semarang akan membawa kita seolah berada di pemukiman abad ke 19.

Jembatan Kota Tua
Sebuah jembatan, tak jauh dari Stasiun Tawang, adalah “gerbang” dari kota tua Semarang. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut sebuah gedung besar mirip istana. Pilar-pilarnya masih kokoh,dengan terali yang sekaligus berfungsi sebagai jendela. Itulah gedung yang sekarang dipakai sebagai Bank Mandiri. Ya, sebagian bangunan di kota tua memang sudah beralih fungsi, tanpa mengubah bentuk aslinya.
Bawah jembatan adalah sebuah sungai, yang mengingatkanku pada Sungai Thames di depan Istana Buckingham. Sayang banget, sungainya sangat-sangat kotor akibat sampah dan limbah. Airnya kehitaman. Baunya jauh dari harum (ya iyalah..). Selain itu di daerah ini juga sering terjadi rob. Rob di sini bukan nama panggilanku lho, tapi air pasang dari laut. Kalau hujan deras, daerah Semarang Utara udah kayak laut, saking dahsyatnya genangan air. Untunglah, siang itu cuaca cerah.

 Bank Mandiri


 PT Djakarta Lloyd
Di sebelah gedung Bank Mandiri, ada gedung PT Djakarta Lloyd, perusahaan maskapai pelayaran. Salah satu adegan film “Soekarno” syutingnya di sini lho!  Sebelah kirinya, gedung PT Pelni, yang masih dipakai, terbukti masih ada jadwal lengkap kapal penumpang ke luar pulau Jawa.
Kurang puas kalau di sini aja, aku pun menjelajahi lorong kota tua. Beberapa orang muda mudi asyik selfie di depan pintu besar yang jadi ciri khas bangunan kolonial. Bagus banget deh kalau nanti diedit pakai efek jadul, serasa bangsawan abad 19… hihihi…
Seperti yang udah sering kubaca di berbagai blog dan artikel, beberapa bangunan tua di sini kurang terawat. Seolah-olah mereka tinggal menunggu waktu saja. Banyak yang catnya sudah mengelupas, atap yang keropos, tembok yang menghitam karena air hujan. Dan lebih ngenes lagi…. vandalisme di sana-sini.. Malah kabarnya, ada bangunan yang mulai roboh. Menyedihkan sekali….

Bangunan tua yang merana
Vandalisme, bukti tidak menghargai warisan sejarah

Beberapa gedung di sini yang lebih terawat, dijadikan gudang oleh perusahaan. Ada sebuah gedung, yang namanya nggak terlalu jelas, karena beberapa hurufnya udah hilang. Searching di google, nama lengkapnya Roode Driehoek, nggak tahu gedung apa, mungkin sebuah pabrik atau perusahaan zaman dulu.
Aku terus menjeprat jepretkan kameraku. Sesuai sloganku “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku berusaha memotret bangunan tua, apapun keadaannya. Bolak balik cari spot yang pas, biarpun kadang harus melompati got yang airnya… ya seperti itulah….

Roode Driehoek

Gudang perusahaan
Dinding yang lapuk dimakan usia
Nggak jarang juga, aku dibikin kesal kalau pas memotret ada motor atau mobil lewat….bangunannya jadi ketutupan…. huh…. Mungkin karena hari Minggu, daerah ini ramai banget. Tapi aku nggak bisa nyalahin mereka juga sih, namanya orang lewat. Sempat juga terjadi tabrakan dua motor, untung pengendaranya cuma luka ringan. Banyak orang berkerumun. Aku paling malas lihat orang bertengkar karena tabrakan (bikin ikutan emosi), so, aku buru-buru menjauh.
Tiang lampu tua


PT Telkom

Resto Ikan Bakar Cianjur
Berbelok ke Jalan Letjen Suprapto, sebagian bangunan tua di sini jauh lebih terawat. Ada gedung PT Telkom, Bank NISP, PT Jiwasraya dan Restoran Ikan Bakar Cianjur. Tiang lampu kuno juga masih berdiri tegak, entah lampunya masih bisa nyala atau nggak. Mengagumkan sekali, sampai-sampai aku nggak peduli dengan udara panas yang menyengat. Sampai akhirnya kutemukan sebuah bangunan berkubah besar, mirip kubah masjid dengan beberapa menara. Bagian pintu masuk punya beberapa pilar, mirip Museum Nasional di Jakarta. Yup, inilah Gereja Blenduk. Disebut “blenduk”, karena kubahnya lumayan besar.

Gereja Blenduk nan eksotis
Wah, rugi besar kalau dilewatkan! Di antara kendaraan yang lalu lalang, aku berusaha memotret “gereja tua” ini. Gereja ini sekarang bernama GPIB Imanuel. Karena hari Minggu, sedang ada kebaktian, jadi aku nggak bisa masuk sembarangan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu rohani. Gedung gereja ini punya peredam suara yang kuat, jadi keramaian kota Semarang nggak mengganggu khusuknya kebaktian. Aku bayangin, kalau aku datang lebih pagi, lalu ikut kebaktian di sini pasti asyik banget.

Gedung Marba, berasa di Eropa 
Gedung Marba yang legendaris terletak di seberang gereja. Marba adalah singkatan dari Marta Badjunet, nama sang pendiri. Masih cukup bagus, biarpun dindingnya agak kusam. Gedung ini dulunya kantor pelayaran dan supermarket zaman Belanda. Sekarang dipakai sebagai gudang, sedangkan  bagian samping disewa oleh warung makan. Dilihat dari kejauhan, nuansa Eropanya terasa banget.

Spiegel, cagar budaya yang kini jadi kafe
Sedangkan di seberangnya, gedung Spiegel, bekas toko mebel yang sekarang disulap jadi kafe semacam Starbucks. Konon, gedung ini juga mangkrak, tapi ada investor yang mau merenovasinya.. Kini jauh lebih terawat, malahan sudah ditetapkan jadi bangunan cagar budaya oleh Pemkot Semarang.  Aku heran, kalau Spiegel dirawat sedemikian rupa, kenapa bangunan-bangunan yang lapuk tadi tidak menjadi cagar budaya juga ya? Nilai sejarahnya pasti ada juga kan? Atau ada sebab tertentu? Entahlah…
Karena lapar, sekaligus karena ingin tahu rasanya sensasi makan di gedung tua, aku mampir di warung makan samping gedung Marba. Siang itu pengunjungnya cuma aku sendiri. Nasi goreng telur dan es teh pun segera bikin perutku kenyang, siap jalan-jalan lagi.
Aku putuskan mengitari bagian belakang gereja Blenduk. Lewat pastori belakang gereja, sedang ada kebaktian sekolah minggu. Meskipun bangunannya sederhana, tapi semua anak sangat menikmati ibadah. Bahkan taman di depan gereja ibarat alun-alun kota, orang-orang dari kalangan mana pun bebas duduk-duduk, sekedar cari angin atau menikmati kuliner. Belum lagi, pasar kriya Padang Rani, yang menjajakan aneka barang seperti hiasan dinding, patung dan kerajinan keramik. Betul-betul bangunan cagar budaya ini tidak sekedar bernilai sejarah, tapi juga menjadi sarana berkat buat banyak orang.

Pasar kriya Padang Rani
Sambil jalan pulang, aku belok ke Jalan Garuda. Banyak juga bangunan tua di sini, kebanyakan jadi gudang perusahaan, salah satunya milik Dinas Pendidikan Provinsi Jateng.
Hei… apa itu? Ada beberapa orang berdiri di depan sebuah gedung. Dua orang kameramen dengan peralatan shootingnya, seorang ibu yang berperan sebagai “sutradara” dan sepasang muda mudi yang berpose bergandengan tangan di depan pintu besar, lengkap dengan vespa di depannya. Nggak salah lagi, keeksotisan kota tua memang pas banget buat foto pre wedding. Duh… jadi pengin…. hehehehe… Oh ya, film “Gie” dan “Ayat Ayat Cinta” juga syuting di kota tua ini lho!

Spot yang bagus buat pre wedding
Aku jalan terus sampai sebelah kanan gedung Bank Mandiri. Tanpa sadar, aku masuk ke Pasar Johar bagian tenggara. Nggak jauh dari situ, ada juga beberapa bangunan tua, tapi karena hari makin panas, aku stop perjalananku sampai sini. Segera aku balik lagi ke jembatan tadi buat naik angkot ke Terboyo.


Kota tua… benar-benar sebuah memorial… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar